Artikel
Gema Pesta di Ruang Hampa: Natal Tanpa Sang Bayi
Barometer Indonesia News - Bayangkan sebuah pesta ulang tahun paling megah di dunia. Lampu kristal bergantungan, makanan terlezat dihidangkan, musik orkestra mengalun, dan semua tamu mengenakan pakaian terbaik. Kado-kado bertumpuk tinggi. Namun, di tengah hiruk-pikuk itu, ada satu kejanggalan fatal: Yang berulang tahun tidak ada di sana. Namanya tertulis di undangan, tetapi sosoknya ditinggalkan di luar pintu.
Inilah gambaran mengerikan dari "Natal tanpa Yesus di palungan".
Seringkali, tanpa sadar kita telah "menculik" Natal. Kita mengambil atmosfernya—kehangatannya, tukar kadonya, lagu-lagunya, liburannya—namun kita meninggalkan jantung detaknya: Inkarnasi Allah yang menjadi manusia.
Berikut adalah tiga perenungan tentang apa jadinya Natal jika Yesus tidak ada di palungan:
1.Perayaan Tanpa Penebusan
Tanpa Yesus di palungan, Natal hanyalah sebuah Winter Festival (Festival Musim Dingin) atau sekadar liburan akhir tahun. Kita bisa mendekorasi rumah seindah mungkin, tetapi tanpa Bayi itu, dekorasi hanyalah kosmetik untuk menutupi kekosongan jiwa.
Palungan adalah simbol kerendahan hati Allah yang radikal. Jika Yesus tidak ada di sana, berarti: Langit masih tertutup. Allah masih jauh dan tak tersentuh. Manusia masih terbelenggu dalam dosanya tanpa harapan akan juru selamat.
Natal tanpa Yesus adalah perayaan kemanusiaan yang semu, di mana kita bersikap baik selama satu bulan, hanya untuk kembali pada keegoisan di sebelas bulan berikutnya. Hanya kehadiran Sang Penebus yang mengubah "perayaan sesaat" menjadi "transformasi abadi".
2.Mencari Tuhan di Tempat yang Salah
Mengapa palungan itu penting? Karena palungan memaksa kita menunduk. Jika kita menyingkirkan Yesus dari palungan—dari tempat yang kotor, bau, dan sederhana itu—kita cenderung akan menciptakan "tuhan" versi kita sendiri. Kita akan mencari Tuhan di tempat-tempat tinggi: dalam kesuksesan finansial, dalam kenyamanan hidup, atau dalam kekuasaan.
Natal tanpa Yesus di palungan membuat kita menjadi orang Kristen yang sombong. Kita menginginkan berkat-Nya, tetapi menolak jalan penderitaan-Nya. Kita menginginkan mahkota-Nya, tetapi menolak kerendahan hati-Nya. Palungan mengingatkan kita bahwa Allah hadir di tempat yang paling tidak terduga, di tengah kekacauan dan ketidaksempurnaan hidup kita.
3.Kehilangan "Imanuel" (Allah Beserta Kita)
Esensi Natal adalah Imanuel—Allah beserta kita. Jika palungan itu kosong: Kita sendirian menghadapi ketidakpastian dunia. Penderitaan kita tidak memiliki teman, karena Tuhan tidak pernah merasakan menjadi manusia yang rentan.
Justru karena Yesus ada di palungan, Ia mengerti rasa dinginnya penolakan, kerasnya kehidupan, dan rapuhnya tubuh manusia. Natal tanpa Dia di palungan berarti kita menyembah Tuhan yang apatis, yang hanya menonton dari jauh. Tetapi dengan adanya Dia di sana, kita tahu bahwa Ia telah masuk ke dalam lumpur kehidupan kita untuk mengangkat kita keluar.
Saudaraku, mari kita periksa hati kita hari ini. Apakah Natal kita tahun ini penuh dengan jadwal open house, belanja, dan ibadah seremonial, namun batin kita terasa kering?
Mungkin itu karena kita sedang merayakan Natal, tetapi kita lupa menengok ke palungan. Kita lupa mengundang Sang Bayi untuk lahir kembali di hati kita. Jangan biarkan Natal menjadi pesta tanpa Tuan Rumah.
Kembalilah pada kesederhanaan. Di tengah riuh rendah lagu Jingle Bells, carilah keheningan Malam Kudus. Izinkan Yesus tidak hanya menjadi "maskot" Natal, tetapi menjadi Raja yang mengambil alih takhta hati Anda—bukan di istana yang megah, melainkan di palungan hati yang sederhana dan mau bertobat.
_"Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya..." (Yesaya 9:5)_
Penulis : Ps. Andre Yosua M
Via
Artikel

Post a Comment