24 C
en

Fiksii Hukum dan Realitas Sosial: Menakar Kesiapan Masyarakat Menuju Pemberlakuan KUHP 2023

Oleh: Sandy Hardianto, SH ( Managing Partner QJ Law Firm / Pascasarjana Universitas Djuanda)

Barometer Indonesia News - ​Pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru) menandai babak baru dalam sejarah hukum Indonesia, menggantikan Wetboek van Strafrecht (WvS) warisan kolonial. Namun, di balik euforia pembaruan hukum ini, terdapat satu asas klasik yang kembali menjadi sorotan tajam: 

Asas Fiksi Hukum

​Dalam masa transisi selama tiga tahun sebelum KUHP ini berlaku efektif pada Januari 2026, relevansi asas fiksi hukum diuji berhadapan dengan kompleksitas masyarakat Indonesia yang majemuk.

​Memahami Asas Fiksi Hukum

​Dalam teori hukum, asas fiksi hukum (fictie hukum) berbunyi: "Setiap orang dianggap mengetahui hukum sejak peraturan tersebut diundangkan dalam Lembaran Negara."

​Asas ini berkaitan erat dengan adagium latin Ignorantia juris non excusat, yang berarti ketidaktahuan akan hukum tidak dapat menjadi alasan pemaaf. Secara normatif, asas ini mutlak diperlukan demi kepastian hukum. 

Jika setiap pelanggar hukum diizinkan membela diri dengan dalih "saya tidak tahu aturan itu ada," maka ketertiban hukum akan runtuh karena negara akan kesulitan membuktikan pengetahuan subjektif setiap individu.

Paradoks dalam KUHP 2023

​Penerapan fiksi hukum dalam konteks KUHP 2023 menghadirkan tantangan unik. UU No. 1 Tahun 2023 telah diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023, namun Pasal 624 UU tersebut menyatakan bahwa undang-undang ini baru berlaku tiga tahun setelah diundangkan (2 Januari 2026).

​Periode vacatio legis (kekosongan pemberlakuan) selama tiga tahun ini menciptakan situasi hukum yang menarik:
Secara Formil: UU tersebut sudah sah menjadi hukum positif yang tercatat dalam Lembaran Negara. Secara Materiil: Daya ikatnya ditunda untuk memberikan waktu persiapan.

​Pertanyaannya adalah: Apakah asas fiksi hukum sudah berlaku saat ini (setelah diundangkan), atau baru berlaku nanti saat efektif (2026)?

​Secara teoritis, fiksi hukum berlaku sejak pengundangan. Artinya, saat ini seluruh rakyat Indonesia secara hukum "dianggap tahu" bahwa akan ada perubahan sistem pidana. Namun, negara menahan diri untuk tidak menggunakan pengetahuan tersebut sebagai dasar penuntutan hingga tahun 2026.

Kesenjangan Antara Fiksi dan Realitas

​Kritik terbesar terhadap fiksi hukum di Indonesia adalah kesenjangan yang lebar antara asumsi hukum dan realitas sosial. Indonesia memiliki kondisi geografis kepulauan, tingkat literasi hukum yang beragam, dan akses informasi yang belum merata.

​Dalam KUHP 2023, terdapat banyak delik baru atau perubahan signifikan dari KUHP lama, seperti: Tindak pidana terkait living law (hukum yang hidup dalam masyarakat/hukum adat). ​Penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara. ​Isu-isu kesusilaan (kohabitasi).

​Memaksakan fiksi hukum bahwa masyarakat—dari metropolitan hingga pedalaman—memahami nuansa pasal-pasal baru ini tanpa upaya aktif adalah sebuah ketidakadilan terselubung. Jika pada tahun 2026 nanti masyarakat masih belum paham, dan penegak hukum serta-merta menerapkan sanksi dengan berlindung di balik tameng "fiksi hukum," maka tujuan hukum (keadilan) telah dikorbankan demi kepastian.

​Tanggung Jawab Negara: Menggeser Beban "Tahu"

​Masa transisi tiga tahun ini harus dimaknai sebagai pengalihan beban. Dalam kondisi normal, beban untuk "tahu hukum" ada pada pundak warga negara. Namun, dalam konteks perubahan sistem pidana yang masif seperti KUHP 2023, beban tersebut bergeser ke pundak negara (Pemerintah).

"Sosialisasi bukanlah sekadar formalitas administratif, melainkan prasyarat mutlak bagi legitimasi moral berlakunya fiksi hukum.". ​Pemerintah wajib melakukan sosialisasi yang substantif, bukan hanya seremonial. 

Sosialisasi harus menyasar:

​Aparat Penegak Hukum (APH): Polisi, Jaksa, Hakim, dan Advokat harus memiliki pemahaman seragam (Satu frekuensi) agar tidak terjadi disparitas penafsiran.

​Masyarakat Umum: Terutama mengenai pasal-pasal krusial yang bersinggungan dengan kehidupan sehari-hari dan kebebasan sipil.

Kesimpulan

​Fiksi hukum adalah sebuah keniscayaan demi ketertiban negara. Namun, dalam pemberlakuan KUHP 2023, asas ini tidak boleh berdiri sendiri secara kaku. Ia harus dibarengi dengan asas publisitas yang agresif dan edukatif.

​Keberhasilan KUHP Nasional bukan hanya diukur dari seberapa canggih pasal-pasal yang dirumuskan, melainkan seberapa siap masyarakat menerimanya sebagai panduan tingkah laku. 

Tanpa sosialisasi yang masif dan efektif hingga tahun 2026, fiksi hukum hanya akan menjadi alat pemidanaan yang opresif, bukan instrumen ketertiban yang berkeadilan.

Editor   :  Adhie
Older Posts
Newer Posts
Barometer Indonesia News
Barometer Indonesia News PT.BAROMETER MEDIA TAMA

Post a Comment

Advertisment
- Advertisement -