Notification

×

Iklan

Iklan

Open Legal Policy dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dan Pembentukan Undang-Undang Menjadi Suatu Keputusan Ideal ?

Sunday 4 December 2022 | 00:35 WIB Last Updated 2022-12-03T17:35:18Z
JAKARTA, BIN.NET || Bergulirnya beberapa pemikiran yang memprotes terhadap Open legal policy yang diberlakukan di Republik ini merupakan permasalahan yang menarik untuk dibahas. Di satu sisi merupakan ketentuan yang mengatur ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) kembali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan perkara Nomor 20/PUU-XX/2022 sebagaimana telah  diajukan oleh Adang Suhardja, Marwan Batubara, Ali Ridhok,  Bennie Akbar Fatah, dkk. Sidang dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan perkara ini digelar di MK pada Senin (14/03/2022).

Adapun norma yang diujikan adalah Pasal 222 UU Pemilu yang menyatakan “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”

Dalam persidangan yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto, para pemohon yang diwakili kuasa hukum Herman Kadir memaparkan bahwa Pasal 222 UU Pemilu mengharuskan pasangan calon presiden dan wakil presiden memenuhi “persyaratan perolehan kursi partai politik atau  gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional”. Hal ini menurutnya bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Syarat-syarat untuk menjadi presiden dan wakil presiden diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang.”

“Dengan menggunakan penafsiran sistematis-gramatikal idealnya syarat pencalonan presiden dan wakil presiden merujuk pada Pasal 6 UUD 1945 khususnya Pasal 6 ayat (2) UUD 1945,” kata Herman secara daring.

Selain itu, menurut Herman yang menggolongkan presidential threshold sebagai open legal policy tidaklah tepat. Seyogianya persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden digolongkan sebagai closed legal policy sebab UUD 1945 telah menentukan pembatasan atau syarat pencalonan.
Padahal menurut penafsiran yang benar seharusnya dengan menggunakan istilah legal linguistics.
(Heikki E.S. Mattila : " as a language for special purposes, evaluating the functions and characteristics of legal language and the terminology of law. Using examples drawn from major and lesser legal languages, it examines the major legal languages themselves, beginning with Latin through German, French and English")

Menurut Herman lebih lanjut berpendaoat pembentuk UU dalam merumuskan dan menetapkan ketentuan presidential threshold 20% kursi atau 25% suara berdasarkan hasil pemilihan umum sebelumnya, tidak didasarkan pada penghormatan atau pemenuhan hak rakyat untuk memilih (right to vote) atau mendapatkan sebanyak-banyak pilihan alternatif pasangan calon presiden.

Menurut para Pemohon, seharusnya pembentuk UU dalam menetapkan presidential threshold tidak melalui mekanisme voting (suara terbanyak) melainkan dengan melibatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat (terutama yang kontra terhadap penerapan presidential threshold) dan secara proporsional mengakomodir suara minoritas dalam kelembagaan parlemen.

Para Pemohon dalam permohonannya juga mengatakan dalam sistem demokrasi setiap keputusan tidak boleh hanya didasarkan pada legitimasi suara terbanyak tanpa mengindahkan penghormatan atau pemenuhan hak rakyat (pemilih) untuk mendapatkan pilihan kandidat pasangan presiden dan wakil presiden yang lebih banyak dan berkualitas. Selanjutnya dalam menentukan angka ambang batas pencalonan presiden pembentuk UU lebih banyak mendasarkan pada kepentingan politik (menghilangkan penantang dalam pemilihan presiden) dan tidak dilandasi atau berbasis pada kepentingan pemilih serta pembangunan demokrasi substansial

Menanggapi permohonan pemohon, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams memberikan nasihat agar identitas para Pemohon prinsipal disebutkan masing-masing. Wahiduddin menerangkan, format penulisan menjadi penting sebab masing-masing Pemohon mendalilkan bentuk kerugian yang dialaminya.

Sedangkan Hakim Konstitusi Suhartoyo menguraikan, bahwa kedudukan hukum maupun posita, para Pemohon tidak sependapat dengan putusan MK yang berpendapat terkait legal standing yang hanya memberikan kedudukan hukum kepada partai politik. Kemudian soal posita, menurut para Pemohon, presidential threshold harus mengadopsi closed legal policy.

“Jadi sebenarnya dari argumen-argumen di dalam menjelaskan kedudukan hukum maupun posita permohonan, sebenarnya Pemohon sudah menyampaikan bahwa pada intinya apa yang sudah diputuskan MK para pemohon tidak sependapat. Namun demikian akan tetap saya tambahkan khususnya untuk legal standing dan posita itu bagaimana agar argumen-argumen yang disampaikan pada hari ini bisa mempengaruhi putusan-putusan MK sebelumnya, khususnya pada bagian yang menjadi perdebatan tersebut. Menurutnya, bagaimana para pemohon bisa lebih memahami bahwa tidak semata-mata bahwa yang mempunyai kedudukan tidak hanya partai politik tetapi pemilih,” kata Suhartoyo.

Sebelum menutup persidangan, Wakil Ketua MK Aswanto memberikan kesempatan waktu 14 hari kepada para pemohon untuk melakukan perbaikan, yang mana perbaikan tersebut sudah harus diterima oleh Kepaniteraan MK paling lambat pada Senin, 28 Maret 2022, pungkasnya.

Teuku imran/Red
close