Artikel
Penetapan Tanah Terlantar: Menemukan Titik Keseimbangan Antara Kepastian Hukum Negara dan Perlindungan Bagi Pengembang
Barometer Indonesia News - Dalam dunia properti, tanah adalah "bahan baku" utama. Namun, bagi negara, tanah adalah kedaulatan dan sumber kemakmuran rakyat. Seringkali, dua kepentingan ini berseberangan. Pengembang (developer) butuh waktu untuk menata "land bank" mereka, sementara negara menuntut tanah tersebut segera produktif.
Ketegangan ini memuncak pada isu Penetapan Tanah Terlantar. Bagi pemegang Hak Guna Bangunan (HGB)—khususnya pengembang skala besar—bayang-bayang penetapan tanah terlantar seringkali menjadi momok menakutkan.
Apakah tanah yang belum dibangun karena menunggu kondisi pasar membaik bisa tiba-tiba disita negara. Jawabannya ada pada pemahaman mendalam mengenai PP Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar. Regulasi ini sesungguhnya bukan "pedang pembunuh" investasi, melainkan sebuah mekanisme keseimbangan (equilibrium) antara hak negara dan perlindungan pengusaha.
1.Perspektif Negara: Mengapa Tanah Harus "Ditertibkan"?
Dari kacamata negara, tanah yang dibiarkan menganggur (idle) adalah kerugian ekonomi (economic loss). Semangat konstitusi (Pasal 33 UUD 1945) mengamanatkan tanah untuk kemakmuran rakyat, bukan sekadar instrumen spekulasi.
PP 20/2021 hadir untuk memastikan Kepastian Hukum bahwa: Tanah tidak dijadikan alat spekulasi yang memacetkan pembangunan.
Ada optimalisasi aset. Tanah HGB yang diterlantarkan akan dikembalikan menjadi TCUN (Tanah Cadangan Umum Negara) atau dikelola oleh Bank Tanah untuk kepentingan umum, reforma agraria, atau proyek strategis nasional.
2.Perspektif Pengembang: Di Mana Letak Perlindungan Hukumnya?
Kekhawatiran pengembang bahwa tanahnya akan serta-merta dicabut haknya adalah kurang tepat. Justru, PP 20/2021 memberikan prosedur perlindungan yang berlapis (due process of law) sebelum sebuah tanah divonis "terlantar". Keseimbangan perlindungan hukum tersebut terlihat pada tahapan berikut:
a. Jangka Waktu "Aman" 2 Tahun Tanah HGB baru bisa menjadi Objek Penertiban Tanah Terlantar jika dengan sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan terhitung mulai 2 (dua) tahun sejak diterbitkannya hak. Artinya, ada masa tenggang (grace period) yang wajar bagi pengembang untuk memulai aktivitas.
b.Mekanisme Peringatan Bertingkat (The 3-Strike Rule) Negara tidak bisa langsung main sita. Ada kewajiban memberikan peringatan tertulis sebanyak tiga kali: Peringatan I: Jangka waktu 90 hari kalender. Peringatan II: Jangka waktu 45 hari kalender. Peringatan III: Jangka waktu 30 hari kalender. Total ada waktu hampir 6 bulan bagi pengembang untuk merespons, memberikan klarifikasi, atau mulai menggarap tanah tersebut sejak peringatan pertama dilayangkan. Ini adalah bentuk perlindungan hukum administratif yang konkret.
c.Pengecualian "Force Majeure" & Kendala Hukum Ini adalah tameng terkuat bagi pengembang. Tanah TIDAK DAPAT ditetapkan sebagai tanah terlantar jika ketidakmampuan memanfaatkannya disebabkan oleh: Keadaan kahar (bencana alam, kerusuhan, dll). Masalah yang bukan kesalahan pemegang hak (misalnya, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) setempat yang tiba-tiba berubah sehingga izin IMB/PBG tidak bisa keluar).
Tanah sedang dalam sengketa di pengadilan atau diblokir pihak berwenang.
3.Tips Praktis: Strategi Mitigasi Bagi Pemegang HGB
Agar tercipta keseimbangan yang menguntungkan dan terhindar dari penetapan tanah terlantar, pengembang properti disarankan melakukan langkah preventif berikut:
Aktivitas Fisik yang Terlihat: Jangan biarkan tanah kosong melompong. Pasang patok batas yang jelas, papan nama proyek, atau lakukan pematangan lahan (cut and fill) sebagai bukti adanya "pengusahaan".
Tertib Administrasi: Pastikan Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) dilaporkan secara rutin. Bukti pelaporan ini vital untuk menunjukkan bahwa proyek masih "hidup" secara administratif.
Responsi.
Editor : Adhie
Via
Artikel

Post a Comment