24 C
en

Pedang Bermata Dua: Fenomena 'Weaponization' UU TPKS untuk Pemerasan

Oleh: Sandy Hardianto, SH (Managing Partner QJ Law Firm / Mahasiswa pascasarjana Univ. Djuanda)

Barometer Indonesia News - ​Kehadiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) disambut sebagai kemenangan besar bagi kemanusiaan di Indonesia.

Undang-undang ini hadir sebagai "perisai" bagi korban yang selama ini terbungkam oleh sistem hukum yang kaku. ​Namun, dalam praktiknya di lapangan, muncul sebuah anomali. "Perisai" ini terkadang disalahgunakan menjadi "pedang" oleh oknum tidak bertanggung jawab. 

Fenomena ini dikenal sebagai weaponization of law, di mana pasal-pasal TPKS digunakan bukan untuk mencari keadilan, melainkan sebagai alat tawar (bargaining power) untuk melakukan pemerasan (extortion).


​Mengapa UU TPKS Rawan Disalahgunakan untuk Pemerasan? ​Pelaku pemerasan biasanya memanfaatkan celah psikologis dan sosial, bukan semata-mata celah hukum. 

Berikut adalah faktor mengapa ancaman "Lapor TPKS" begitu menakutkan sehingga korban (pihak yang diperas) bersedia membayar:

​1.Stigma Sosial & "Trial by Press"

Tuduhan kekerasan seksual membawa sanksi sosial yang jauh lebih berat dan cepat daripada sanksi hukum. Sebelum putusan pengadilan keluar, seorang terlapor bisa hancur reputasi, karier, dan kehidupan rumah tangganya hanya karena status "Terlapor" atau viral di media sosial. Ketakutan akan kehancuran nama baik inilah yang dieksploitasi pemeras.

​2.Tafsir Luas "Kekerasan Seksual Non-Fisik"

Pasal 5 UU TPKS mengatur tentang pelecehan seksual non-fisik (seperti pernyataan, gerak tubuh, atau aktivitas seksual yang merendahkan).

Pasal ini sangat krusial untuk melindungi korban, namun di sisi lain, unsur subjektivitasnya cukup tinggi. Dalam konteks pemerasan, perselisihan hubungan pribadi atau konflik kerja sering kali dipelintir menjadi tuduhan pelecehan non-fisik untuk menekan lawan.

3.Kemudahan Pembuktian (Satu Saksi + Alat Bukti Lain)

UU TPKS mempermudah pembuktian bagi korban (Pasal 24 & 25). Keterangan saksi korban ditambah satu alat bukti lain yang sah (misalnya surat keterangan psikolog klinis) sudah cukup untuk menjerat terdakwa.

Bagi pemeras, ini adalah senjata. Mereka bisa mengancam: "Saya cukup ke psikolog, bilang saya depresi karena kamu, lalu lapor polisi. Kamu pasti kena." Narasi ini menakutkan bagi orang awam hukum.

​Modus operandi yang dering terjadi Biasanya, pola pemerasan menggunakan pasal TPKS terjadi dalam skenario berikut:

​Pasca Hubungan Konsensual: Hubungan yang awalnya suka sama suka (konsensual) berakhir buruk. Salah satu pihak mengancam akan melaporkan hubungan tersebut sebagai "pemaksaan" atau "eksploitasi seksual" jika tidak diberi sejumlah uang.

​Jebakan Kencan (Honey Trap): Pelaku sengaja menggoda korban, mendokumentasikan interaksi yang ambigu, lalu mengancam akan melaporkan tindakan tersebut sebagai pelecehan seksual.

​Persaingan Kerja: Mengancam atasan atau rekan kerja dengan tuduhan pelecehan verbal untuk mendapatkan promosi atau menghindari pemecatan.

​Perlindungan Hukum Bagi Korban Pemerasan
​Penting untuk diingat bahwa tuduhan palsu adalah tindak pidana. Jika seseorang menggunakan ancaman laporan TPKS palsu untuk meminta uang, hukum menyediakan perlindungan balik:

Pasal Pemerasan (368 KUHP),

Jika ada unsur pengancaman dan permintaan uang/barang, ini adalah tindak pidana murni dengan ancaman penjara maksimal 9 tahun. ​Laporan/Pengaduan Palsu (220 & 317 KUHP): Jika laporan sudah dibuat namun terbukti rekayasa, pelapor bisa dipidana balik.

​Pencemaran Nama Baik (UU ITE), jika ancaman dilakukan dengan menyebarkan tuduhan palsu di media sosial.

Bagaimana Menyikapinya?

​Aparat penegak hukum (Polri) saat ini dituntut untuk sangat jeli (pruden). Penyidik harus mampu membedakan mana korban yang trauma (nyata) dan mana "korban" yang memiliki motif ekonomi (transaksional).

​Bagi masyarakat, jika menghadapi ancaman seperti ini: Jangan mentransfer uang. Sekali Anda membayar, Anda memvalidasi tuduhan tersebut dan pemerasan tidak akan berhenti.

​Kumpulkan bukti ancaman. Screenshot chat, rekaman suara saat pemeras meminta uang atau mengancam melapor jika tidak dibayar.

​Dampingi dengan Pengacara. Kasus TPKS sangat sensitif. Pendampingan hukum diperlukan agar posisi Anda tidak disudutkan oleh opini publik sebelum fakta hukum terungkap.

Kesimpulan

​UU TPKS adalah instrumen hukum yang mulia dan sangat dibutuhkan Indonesia. Namun, kita tidak boleh menutup mata bahwa setiap hukum yang tajam bisa melukai jika dipegang oleh tangan yang salah. Penegakan hukum yang objektif dan berbasis bukti (bukan sekadar viral) adalah kunci agar UU TPKS tetap menjadi perisai keadilan, bukan alat untuk mencari keuntungan pribadi.
Older Posts
Newer Posts
Barometer Indonesia News
Barometer Indonesia News PT.BAROMETER MEDIA TAMA

Post a Comment

Advertisment
- Advertisement -