Artikel
Menakar Denyut "Presisi": Transformasi Wajah Baru Kepolisian Diera Digital
Barometer Indonesia News - Di tengah riuh rendah percakapan media sosial tentang kinerja aparat, satu kata kunci terus didengungkan dalam beberapa tahun terakhir: Presisi. Sejak Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjabat sebagai Kapolri, "Presisi" bukan sekadar slogan di baliho jalanan. Ini adalah sebuah grand design atau peta jalan transformasi Polri untuk beradaptasi dengan zaman yang berubah cepat. Namun, apa sebenarnya makna di balik jargon ini, dan bagaimana riset melihat efektivitasnya dalam penegakan hukum sehari-hari?
Membedah DNA "Presisi" secara konseptual, Presisi adalah akronim dari Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan. Riset kebijakan publik melihat ini sebagai upaya Polri untuk bergeser dari model pemolisian reaktif (menunggu kejahatan terjadi) menuju model proaktif dan modern.
Mari kita bedah tiga pilar utamanya:
Prediktif (Predictive Policing): Ini bukan tentang meramal masa depan seperti di film fiksi ilmiah. Dalam kriminologi modern, ini berarti memanfaatkan big data untuk memetakan potensi gangguan keamanan. Polisi tidak lagi hanya berpatroli secara acak, melainkan berbasis data area rawan untuk mencegah kejahatan sebelum terjadi.
Responsibilitas: Setiap tindakan kepolisian harus bisa dipertanggungjawabkan, tidak hanya kepada atasan, tetapi juga kepada publik.
Transparansi Berkeadilan: Ini adalah poin krusial. Transparansi bukan berarti "telanjang" tanpa aturan, melainkan keterbukaan yang menjamin rasa adil bagi semua pihak, bukan hanya bagi mereka yang punya kuasa atau viral di media sosial.
Teknologi: Ujung Tombak Perubahan
Salah satu indikator keberhasilan yang paling mudah diukur oleh riset adalah digitalisasi pelayanan. Transformasi ini bertujuan memangkas birokrasi dan, yang lebih penting, meminimalisir interaksi langsung yang berpotensi melahirkan pungutan liar (pungli).
Contoh paling nyata adalah ETLE (Electronic Traffic Law Enforcement). Studi menunjukkan bahwa penilangan elektronik secara signifikan meningkatkan disiplin berkendara dan menghilangkan "negosiasi damai" di pinggir jalan.
Selain itu, kehadiran aplikasi seperti Dumas (Pengaduan Masyarakat) Presisi dan Polisiku memungkinkan masyarakat melapor tanpa harus datang ke kantor polisi. Dalam perspektif pelayanan publik, ini adalah langkah maju untuk memangkas barrier to entry bagi masyarakat yang sebelumnya takut atau enggan melapor.
Restorative Justice: Penegakan Hukum yang Memanusiakan
Transformasi Presisi yang paling fundamental sebenarnya terjadi dalam filosofi penegakan hukum itu sendiri. Riset hukum pidana mencatat pergeseran kuat menuju Keadilan Restoratif (Restorative Justice).
Dulu, keberhasilan polisi sering diukur dari seberapa banyak orang yang ditangkap dan dipenjarakan. Di era Presisi, paradigma ini diubah. Penjara dijadikan ultimum remedium (upaya terakhir).
Untuk kasus-kasus ringan, perselisihan antar-tetangga, atau kasus yang melibatkan korban dan pelaku yang bersedia berdamai, polisi kini bertindak sebagai mediator. Tujuannya adalah pemulihan keadaan, bukan sekadar pembalasan dendam. Pendekatan ini dinilai lebih humanis dan efektif mengurangi kelebihan kapasitas (overcrowding) di lembaga pemasyarakatan.
Tantangan di Lapangan: Antara Kebijakan dan Realitas, tentu saja, transformasi tidak semudah membalikkan telapak tangan. Berbagai riset independen dan survei persepsi publik masih menemukan celah (gap) antara kebijakan di "Mabes" dan eksekusi di "Polsek".
Fenomena Viral: Munculnya tagar seperti #PercumaLaporPolisi atau #NoViralNoJustice adalah kritik sosial yang valid. Ini menandakan bahwa responsivitas aparat di level bawah terkadang masih bergantung pada tekanan publik, belum sepenuhnya menjadi sistem yang otomatis berjalan.
Kultur Birokrasi: Mengubah teknologi lebih mudah daripada mengubah budaya kerja (mindset) ribuan personel. Tantangan terbesar Presisi adalah memastikan setiap anggota polisi di pelosok memiliki semangat pelayanan yang sama dengan visi pimpinannya.
Kesimpulan
Polri Presisi adalah sebuah lompatan visi yang ambisius dan diperlukan. Dari kacamata riset, infrastruktur dan regulasi yang dibangun sudah berada di jalur yang tepat (on the right track). Transformasi digital dan pendekatan keadilan restoratif adalah bukti nyata modernisasi tersebut.
Namun, ujian sesungguhnya dari Presisi bukan pada canggihnya aplikasi, melainkan pada seberapa cepat dan adil polisi merespons tangisan warga yang tidak punya akses internet atau tidak punya akun media sosial untuk memviralkan kasusnya. Di situlah "Presisi" yang sejati diuji.
Editor : Adhi Wijaya
Via
Artikel

Post a Comment