24 C
en

Hadirkan 46 Pakar Dunia, BMKG Bahas Strategi Pengurangan Risiko Bencana Lewat Riset ‘Plateau’

JAKARTA   |  BIN.Net  – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyelenggarakan 2nd PlateauPlus International Workshop bertajuk “PlateauPlus in Tethys” yang menegaskan relevansi riset plateau (dataran tinggi) bagi Indonesia. Workshop ini menjadi platform bagi ilmuwan global untuk berkolaborasi merumuskan pemahaman dinamika Bumi dan strategi pengurangan risiko bencana.

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Teuku Faisal Fathani, menekankan bahwa dataran tinggi berfungsi sebagai laboratorium alam untuk mempelajari proses-proses yang dibentuk oleh tektonik, iklim, dan aktivitas manusia.

“Meneliti lingkungan dataran tinggi dan kepulauan global mengungkapkan bagaimana faktor-faktor geologis, lingkungan, dan antropologis berinteraksi, memperdalam pemahaman kita tentang Bumi dan peran manusia di dalamnya,” kata Faisal di Auditorium BMKG, Jakarta, Selasa (25/11).

Lebih lanjut, sebagian besar wilayah Indonesia terbentuk dari fragmen kerak bumi (terranes) dan endapan yang berasal dari Samudra Tethys pada masa Mesozoikum. Interaksi empat lempeng utama—Indo-Australia (barat dan selatan), Eurasia, Pasifik, dan Laut Filipina (utara dan timur)—telah menciptakan mosaik kerak bumi yang kompleks di kepulauan Indonesia

Aktivitas subduksi tektonik di sepanjang batas lempeng Indonesia juga memengaruhi gunung berapi dan memicu aktivitas gempa yang aktif, termasuk yang berasal dari sesar dan megathrust. Secara keseluruhan, lingkungan tektonik yang kompleks ini menghasilkan sabuk busur vulkanik yang aktif di wilayah Indonesia.

Sebagai contoh, sejarah mencatat adanya letusan Gunung Tambora (1815) dan Gunung Krakatau (1883) pernah terjadi di Indonesia. Letusan ini menyuntikkan aerosol ke stratosfer dan menghasilkan efek iklim global jangka pendek yang terukur. Selain itu, BMKG menyoroti ancaman tsunami yang dipicu aktivitas tektonik, terutama mengingat dampak Gempa Bumi dan Tsunami Samudra Hindia 2004 (Mw 9.1).

“Kondisi tektonik, iklim, dan atmosfer di Indonesia berinteraksi dengan dataran tinggi global di luar wilayah kita. Interaksi ini memengaruhi aspek sosio-budaya masyarakat dan kesadaran mereka terhadap mitigasi bencana alam,” ujarnya.

Untuk itu, workshop ini menjadi platform penting bagi para ilmuwan untuk berkolaborasi dalam merumuskan pemahaman yang lebih baik tentang dinamika Bumi. Harapannya, setiap diskusi yang dihasilkan dapat digunakan untuk tujuan praktis, terutama dalam hal pengurangan risiko bencana.

“Mari kita manfaatkan peristiwa ini sebagai kesempatan untuk upaya bersama memahami dinamika Bumi. Setiap upaya dapat berkontribusi dalam mengurangi kemungkinan korban jiwa manusia selama bencana alam,” ujarnya.

Chair of PlateauPlus Association, Lin Ding, menegaskan bahwa Indonesia adalah lokasi yang sangat strategis untuk mempelajari dinamika geologis dan iklim global. Menurutnya, fokus riset PlateauPlus pada sistem plateau sangat relevan karena sistem tersebut memengaruhi sirkulasi iklim dan hidrologi. Selain itu, asal-usul tektoniknya berkaitan langsung dengan gempa bumi, aktivitas vulkanik, dan proses tsunami di Indonesia.

Lin Ding menyatakan, Indonesia menyediakan laboratorium alam yang langka untuk mempelajari subduksi, proses gempa bumi, dan deformasi kerak bumi–tema-tema yang sejalan dengan fokus ilmiah utama PlateauPlus. Oleh karenanya, para peserta bisa memanfaatkan pertemuan ini sebagai kesempatan emas untuk saling berbagi praktik baik.

“Saya mendorong kita semua untuk bertukar ide, menjajaki peluang penelitian, dan membangun kemitraan jangka panjang yang mendorong kemajuan pengetahuan dan ketahanan, tidak hanya bagi komunitas ilmiah kita, tetapi juga bagi masyarakat,” jelas Lin Ding.

Sementara itu, Deputi Bidang Geofisika BMKG, Nelly Florida Riama, menjelaskan bahwa workshop ini menekankan pentingnya kolaborasi riset dataran tinggi. Riset ini berfungsi sebagai laboratorium alam untuk mempelajari evolusi Bumi sepanjang waktu dan relevansinya bagi Indonesia.

“Meskipun Indonesia sebagai negara kepulauan tidak terletak di salah satu dataran tinggi utama dunia, kondisi tektonik, iklim, dan atmosfer kita tetap berinteraksi dengan dataran tinggi global. Interaksi ini memengaruhi aspek sosial-budaya dan kesadaran mitigasi bencana komunitas di dalamnya. Oleh karena itu, workshop ini menjadi titik penting bagi negara kita,” kata Nelly.

Selama dua hari, forum ini akan menampilkan sesi ilmiah intensif, mencakup 46 pembicara dari berbagai latar belakang akademik yang terbagi dalam lima sesi utama. Para pakar dan pembicara yang hadir berasal dari berbagai negara seperti China, Jerman, Indonesia, Iran, Jepang, Oman, Pakistan, Inggris, dan Amerika Serikat. Selain itu, lebih dari 60 kontribusi poster penelitian juga dipamerkan, memperkaya wawasan peserta.

“Konferensi ini menjadi titik penting di mana kita dapat memperoleh wawasan tentang kemajuan penelitian dan membangun hubungan profesional yang berharga,” lanjutnya.

Sebagai tindak lanjut, peserta juga akan melakukan kunjungan lapangan ke Jawa Barat pada 27 November untuk mengamati kondisi geologis dan implikasi riset dataran tinggi secara langsung. Workshop ini diselenggarakan selama dua hari 25-26 November 2025 berkat kerja sama dari Institute of Tibetan Plateau-Chinese Academy of Sciences (ITP-CAS), BMKG, dan STMKG. BMKG berharap pertemuan ini akan memperkuat riset dan mitigasi bencana global. (**)
Older Posts
Newer Posts
Barometer Indonesia News
Barometer Indonesia News PT.BAROMETER MEDIA TAMA

Post a Comment

Advertisment
- Advertisement -