Peristiwa
Diduga Langgar UU Minerba, PT Putra Hulu Lematang Tak Lakukan Reklamasi Pascatambang
LAHAT | BIN.Net - PT Putra Hulu Lematang (PHL), perusahaan tambang batu bara yang beroperasi di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, diduga tidak melaksanakan kewajiban reklamasi pascatambang usai kegiatan operasionalnya dihentikan. Bahkan, perusahaan ini disebut-sebut masih melakukan aktivitas penambangan hingga tahun 2023, meski izin usahanya telah dicabut oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2022.
Berdasarkan dokumen resmi, pencabutan izin usaha PT PHL tertuang dalam keputusan Kementerian ESDM dengan nomor 20220404-01-29581 pada tahun 2022. Keputusan tersebut mencabut Surat Keputusan Nomor 503/193/KEP/PERTAMBEN/2012 tanggal 23 April 2012 tentang peningkatan tahap kegiatan Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi menjadi IUP operasi produksi batu bara untuk PT PHL (KW\.25.3.LHT.2012).
Dalam keputusan itu, perusahaan diwajibkan menyelesaikan seluruh kewajiban yang belum dilaksanakan, termasuk masalah ketenagakerjaan, fasilitas impor peralatan, dan kewajiban lingkungan pasca tambang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Namun, hingga kini bekas lokasi tambang PT PHL di Kabupaten Lahat justru ditinggalkan dalam kondisi terbengkalai dengan lubang-lubang galian yang menganga.
Salah seorang narasumber menyebut, banyak kelalaian dan dugaan kecurangan yang dilakukan perusahaan, termasuk dugaan pemalsuan data Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) pada tahun 2022 yang tidak sesuai dengan kondisi lapangan.” ungkapnya
Kewajiban reklamasi pascatambang diatur jelas dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).
Pasal 99 ayat (1) UU Minerba menyebut, pemegang IUP atau IUPK wajib melakukan kegiatan reklamasi dan pascatambang sesuai dengan rencana yang telah disetujui.
Selain itu, Pasal 100 mewajibkan perusahaan menempatkan dana jaminan reklamasi sebagai bentuk kepatuhan terhadap kewajiban lingkungan.
Ketentuan lebih rinci diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang pada kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. Dalam PP tersebut ditegaskan, perusahaan tambang harus melakukan reklamasi pada seluruh area yang telah terganggu, termasuk lubang bekas tambang, timbunan, jalan tambang, hingga fasilitas penunjang lainnya, dengan tingkat keberhasilan 100%.
Jika perusahaan tidak melaksanakan reklamasi, pemerintah berhak menggunakan dana jaminan untuk menunjuk pihak ketiga melaksanakan kewajiban tersebut. Lebih jauh, UU Minerba juga memuat sanksi pidana bagi perusahaan yang lalai.
Pasal 162A UU Minerba mengancam pidana penjara hingga 5 tahun dan denda hingga Rp10 miliar terhadap pemegang IUP/IUPK yang tidak memenuhi kewajiban pascatambang.
Aktivis lingkungan mendesak pihak berwenang untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran ini. Mereka menilai pembiaran terhadap lubang-lubang tambang akan menimbulkan risiko lingkungan serius, mulai dari pencemaran air tanah, potensi longsor, hingga mengancam keselamatan masyarakat di sekitar lokasi.
“Pemerintah harus tegas. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi juga kejahatan lingkungan yang mengancam generasi mendatang,” ujar salah satu aktivis lingkungan yang enggan disebut namanya.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak PT PHL belum memberikan keterangan resmi terkait dugaan tersebut.
Laporan: Nita
Copyright Barometer Indonesia News (BIN)
Via
Peristiwa
Post a Comment