Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Kebijakan Bagasi Berbayar Perlu Dikaji Ulang

Thursday 31 January 2019 | 02:41 WIB Last Updated 2019-01-31T01:20:31Z

JAKARTA, BIN - Pemerintah perlu turun tangan ­untuk mengatur besaran tarif bagasi dan kargo yang diterapkan maskapai penerbangan berbiaya rendah (low cost carrier/LCC).
Hal itu penting untuk mencegah dampak negatif yang timbul akibat penerapan tarif secara sepihak oleh pihak maskapai.
Sejumlah pihak memperkirakan akan timbul dampak negatif dari pemberlakukan kebijakan baru itu.
Menteri Pariwisata Arief Yahya menyebut kebijakan bagasi berbayar oleh maskapai berbasis LCC berpotensi menurunkan kinerja sektor pariwisata sebab saat ini tercatat tingkat pengeluaran seseorang paling besar saat berwisata ialah dari unsur transportasi udara.
Tercatat spending atau pengeluaran wisatawan untuk belanja transportasi sekitar 30% hingga 40% dari total pengeluaran dalam bepergian.
“Sudah pasti akan menurunkan pariwisata. Jadi simpel itu, price elasticity. Jadi harga naik, demand turun, sudah pasti itu,” kata Arief Yahya di Jakarta, Rabu (30/1).
Pelaku usaha oleh-oleh juga akan terkena dampak bila tarif bagasi berbayar terlalu tinggi. Para pelancong akan mengurangi pembelian oleh-oleh karena khawatir terbebani biaya bagasi yang mahal.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan pemerintah sudah selayaknya turun tangan mengatasi permasalah biaya bagasi dan kargo pesawat.
“YLKI meminta pemerintah untuk mengatur besaran tarif bagasi dan kargo. Kalau perlu, untuk bagasi berbayar dibatalkan saja. Masukkan komponen tersebut ke dalam tarif. Jadi lebih clear,” ujar Tulus kepada Media Indonesia, Rabu (30/1).
Pengamat penerbangan dari Arista Indonesia Aviation Center, Arista Atmadji, mengatakan bisa saja penentuan tarif bagasi bagi LCC berdasarkan jumlah barang dan bukan berat barang bawaan. Ia mengambil perbandingan tarif bagasi di Amerika Serikat dengan Indonesia. Di ‘Negeri Paman Sam’, kelebihan muatan bagasi dihitung per koper, bukan berat ataupun jarak.
“Di AS hampir seluruh maskapai memungut biaya untuk bagasi di rute domestik, tapi ketentuannya per koper. Misalnya koper pertama 23 kg dikenai US$25 dan koper kedua US$35. Namun, di kita bisa jauh lebih mahal karena jarak tempuh dan berat menjadi dasar penentuan tarifnya,” ungkapnya.
Saat ini Pemerintah sedang mengkaji penerapan batas atas tarif bagasi untuk maskapai yang berbasis LCC seperti Citilink Indonesia, Lion Air, dan Wings Air.  
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno di Kantor Bank Indonesia, Selasa (29/1) malam, mengatakan pemerintah sedang mendalami kemungkinan pembatasan tarif bagasi tersebut agar maskapai tidak memungut tarif secara berlebihan dan menambah beban penumpang.
“Dari Kementerian Perhubungan sedang melihat lagi karena ada aturannya memang bisa (mengenakan tarif). Tetapi apakah harus ada limit charge-nya (batasan tarif), ini sedang diperhatikan,” kata Rini.
Ketentuan mengenai ‘bagasi tercatat’ diatur dalam Pasal 22 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 185 Tahun 2015 tentang Standar Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri. Dalam aturan itu ditegaskan bahwa LCC bisa mengenakan biaya atas bagasi.


Pewarta : Affry Setiawan
close